Personal blog. Keep to be a silent reader. No bullying !

Monday 21 December 2015
Berlangganan

Maaf, Jangan Sentuh Saya

Ketika saya menghitung mundur waktu yang sudah saya lewati, saya teringat dengan apa-apa yang sudah saya alami, saya rasakan, dan yang saya hadapi.
'Proses' yang mampu membentuk saya menjadi seseorang yang mudah-mudahan Insya Allah baik di mata Allah, dan bonus di mata manusia. 'Proses' yang sampai kapanpun tidak akan pernah saya lupakan adalah ketika saya memutuskan untuk menutup rapat-rapat aurat saya.
Saya mulai berjilbab yang benar-benar menutup -dalam artian tidak buka/pakai- ketika saya kelas 2 SMA. Ketika seorang guru kimia yang luar biasa -Ibu Musyrifatin-, yang mengajarkan dan mampu mendoktrin iman saya untuk berjilbab. Waktu itu beliau memang tidak memaksa, tapi selalu memberikan nasehat-nasehat mengenai betapa wajibnya seorang perempuan untuk mengenakan helaian kain di kepalanya.

Jilbab Pertamaku karangan dari Asma Nadia. Buku pertama yang beliau berikan kepada saya. Dan dari buku itu lah saya sadar dan terbangkit iman saya untuk mengenakan jilbab dalam keseharian saya. Meski tidak terlalu sempurna, tapi saya selalu mencoba memakai jilbab kemanapun saya pergi.

Lima tahun berjilbab, saya menemukan definisi yang lain dari kata 'Aurat' ketika usia saya di 21 tahun. Definisi yang semakin mengerucut, semakin detail. Dulu, saya kira dengan mengenaikan kerudung di kepala itu sudah cukup bagi seorang perempuan muslim. Ternyata, menutup aurat bukan serta merta hanya menutup kepala, tapi melainkan meperbaiki hati, 'menjilbabi hati'.

Banyak perempuan yang masih belum berjilbab mengatakan "Yang penting hati dulu yang di jilbabi".
Menurut saya, menjilbabi hati bukan sekedar hati yang baik, hati yang bersih, hati yang selalu berbuat kebajikan. Menjilbabi hati adalah tentang bagaimana kita meresapi setiap kebaikan-kebaikan syariat islam. Salah satunya adalah menjaga diri. Ketika seseorang menjaga diri, maka ia akan terjaga auratnya. Menjaga diri bukan soal menjaga diri dari godaan-godaan preman. Menjaga diri artinya, menjaga hati, menjaga perilaku, menjaga iman, menjaga kesucian dari hal-hal yang dianggap haram.
Ketika jilbab adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan oleh perempuan islam, maka tidak berjilbab adalah sesuatu yang dianggap haram. Dan haram hukumnya dosa.
Harusnya sesimple itu bukan?

Tetapi saya menghargai dan memaklumi untuk perempuan-perempuan yang masih belum memakai jilbab. Selain butuh proses, ia pun butuh kemantapan iman. Karena berjilbab bukan tentang siap atau tidak siap. Melainkan seberapa kuat dan lemahnya iman kita pada Sang Pencipta.

Mengenai menjaga diri, sejak dua tahun yang lalu saya sudah tidak lagi bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahram saya. Alasannya simple, selain saya selalu di ingatkan oleh sesama rekan aktifis, saya pun pernah membaca salah satu hadist bahwa "Rasulullah mengatakan bahwa lebih baik tangannya ditusuk besi timah yang sangat panas dari pada menyentuh tangan wanita yang bukan muhrimnya".
Saat itu saya berfikir, sebegitu haramnya kah?
Karena waktu itu saya sudah berjilbab besar, saya menyadari bahwa perilaku dan tingkah saya harus di sikronkan dengan apa yang saya pakai. Dari situ lah, saya memutuskan untuk tidak menyentuh laki-laki.

Karena keputusan extrem itu, orang-orang yang disekeliling saya pun terlihat aneh dan heran. Misalnya seperti,
"Yailah Pril, kalo lu kaga salaman, gue kaga bisa nyentuh lu dong?"
"Pril,berarti sekarang lu kaga mau dibonceng ama gua?"
"Terus kalo gue pengen curhat sama lo, kalo gue pengen makan bareng sama lo itu gimana?"
"Si neng kaya patung budha pake tangan ditangkupin gitu kalo salaman"
"Ih si April serem sekarang udah gak mau salaman"

Yes, saya mengalami hal yang seperti itu. Mungkin karena saya terlalu banyak dicintai oleh sahabat-sahabat laki-laki, reaksi mereka akan seperti itu. Ada rasa kehilangan didalam diri mereka. Ada rasa 'beda' yang mereka rasakan. Dan saya memaklumi hal itu.
Saya sempat merasa down, selalu menangis tiap ingat perkataan-perkataan tadi. Tetapi Dosen saya yang selalu menguatkan "April, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk selalu mengerti kita. Justru kita yang harus mengerti kita dan memberi pemahaman-pemahaman yang dapat diterima oleh orang-orang di sekitar kita".
Lambat laun, kawan-kawan saya, sahabat-sahabat saya sekarang bisa menerima perubahan dari dalam diri saya. Mereka memahami keputusan yang sudah saya ambil, dan mereka hargai itu.

Saya bukan orang yang suci, bukan juga orang yang sok suci. Akan tetapi saya selalu belajar dan mencoba untuk selalu menjadi manusia yang baik-baik. Manusia yang menjaga diri.
Masih banyak kekeurangan-kekurangan yang ada di diri saya. Bahkan ada beberapa hal yang membuat saya bersentuhan tangan dengan laki-laki non mahram, itu karena saya menghargai mereka yang belum tahu saya bahwa saya tidak ingin tersentuh. Karena kadang, selain Habluminallah saya pun harus Habluminannas. Hubungan dengan Tuhan yang saya bangun tidak lepas juga dari hubungan dengan sesama manusia.
Ya. Bukan berati orang yang tidak ingin saya salami adalah orang yang nista. Bukan, bukan itu. Ini adalah tentang prinsip. Dan prinsip adalah HAK setiap manusia.

Saya menghargai setiap manusia yang diciptakan oleh Allah. Saya menghargai setiap hubungan-hubungan yang mahram atau bukan mahram.
Semoga masih banyak orang-orang yang memahami bahwa orang yang tidak bersalaman adalah orang-orang yang menjaga diri bukan orang yang sombong, bukan orang yang antipati, bukan orang yang fanatik. Tapi ini soal prinsip. Dan Tuhan sangat menghargai itu.

gambar: google.com