Personal blog. Keep to be a silent reader. No bullying !

Friday 28 October 2016
Berlangganan

Tuhan Bersama Kami, Aku dan Jakarta

Ah siapa sangka, dulu aku sungguh tak ingin hidup di Jakarta walau hanya menetap barang satu atau dua hari.
Apalagi untuk berdomisili.
Jakarta bagiku, Kota yang tak kuingini.
Jangan tanya alasan spesifiknya kenapa.
Karena sejujurnya aku sendiri pun tak paham.
Yang kutahu, Jakarta itu "sesak", riuh, panas, ganas, dan macet.
Aku tak suka dengan kehidupan Jakarta karena gemerlapnya dan kerasnya. Mungkin efek korban sinetron televisi -_-

Dan pada akhirnya, aku dihadapkan pilihan untuk hidup dan menetap di Jakarta.
Atau lebih tepatnya, aku tak ada pilihan untuk tidak ke Jakarta.
Dengan segenap keyakinan dan sedikit rasa coba-coba, terdamparlah aku di Ibu Kota Indonesia. Jakarta.

Kuakui, ada sedikit kekhawatiran dalam diriku ketika aku memutuskan untuk hidup di Jakarta.
Pertimbangan orangtua. Tentu saja Ibuku setuju dengan iming-iming "gak apa-apa buat pengalaman".
Dengan modal keyakinan Ibuku, aku harus mengambil keputusan ini, dan juga keputusan untuk meninggalkan Ibuku di rumah tanpaku.
Aku sedikit banyak merasa berat. Berat harus jauh dengan seluruh keluarga dan adik-adik sepupuku.
Karena aku mencintai mereka lebih dari diriku sendiri.
Tetapi benar adanya kalau ada pepatah "cinta butuh pengorbanan".
Mungkin ini salah satu bentuk kecil pengorbananku. Jauh dari keluarga.

Akhirnya aku menetap. Ya, aku benar-benar menginjakkan kakiku di tanah Jakarta.
Aku menghempaskan seluruh tubuhku diatas tempat tidur yang beratap langit Jakarta.
Aku membawa beberapa kebutuhan untuk hidupku di Jakarta. Tak banyak. Hanya kebutuhan untuk sehari-hari.
Sejak hari itu, aku mengikrarkan diri meski dalam lelucon bahwa "Aku adalah anak gaul jakarta versi syar'i". Hanya sekedar guyon.
Hanya sekedar bahan pengingat bahwa aku tak akan sampai menjadi orang yang salah pergaulan.

Siapa sangka, lelucon itu sekarang menjadi anutanku.
Aku berpegang teguh dengan "prinsip-lucu" ku itu.
Dan tiba pada saat aku merenung.
Aku disini tidak punya siapa-siapa, hanya Allah yang kupunya. Hanya Allah yang membersamaiku. Hanya Allah yang menolongku.
Sejak saat itulah, aku berteman dekat dengan Alqur'an. Berteman dekat dengan shalat-shalat sunnah. Berteman dekat dengan Puasa Daud. Berteman dekat dengan Istiqlal.
Hanya mereka-merekalah (Alqur'an, puasa, shalat sunnah dan Istiqlal) aku akan merasa tenang dan damai hidup di Kota yang katanya keras dan kejam.

Setelah dua bulan hidup di Jakarta, aku mulai mencintai Kota ini.
Tentu saja, aku mencintai tempat kerja dan rekan-rekan kerjaku yang sungguh mendukung dengan "gerakan baru" ku ini.
Hari Senin sampai Jum'at kudedikasikan kepada kantorku, dan alhamdulillah lingkungan kantorku selalu ada shalat berjama'ah. Kemudian hari Sabtu untuk istirahat atau mengikuti kajian-kajian agama, dan hari Minggu kupakai untuk pergi ke Masjid Istiqlal.

Allahku,
Terima kasih selalu bersama denganku.
Terima kasih Kau temukan aku di Jakarta-Mu.
Terima kasih telah membersamai kami, aku dan Jakarta.
Terima kasih untuk membuka jalan Hijrah keduaku.
Terima kasih atas Hidayah-Mu.
Kutahu, tidak ada sesuatu yang kebetulan.
Semua telah Engkau rencanakan.
Dan terima kasih telah menitipkan luka patah hati karena tak bisa membersamai dirinya yang jauh disana yang telah memilih akhwat pilihannya, karena sebab itulah aku percaya bahwa lukaku adalah teguran. Dan hanya Engkau yang mampu menyembuhkan luka kegagalanku di masa-masa itu.
Terima kasih Allah.
Terima kasih Bijaksana.
Terima kasih Jakarta.

Stasiun Gambir, 28 Oktober 2016.
21.24 WIB
Dalam perjalanan pulang menuju rumah.